Koni Palopo

Opini — Antara Loyalitas dan Jarak: Mengapa ASN Jauhi Lingkaran Petahana

Bayangan Pilkada dan Dinamika Birokrasi

Senja merayap lambat di langit Palopo. Di balik jendela sebuah kantor pemerintahan, Midung menyesap kopi yang mulai dingin. Ia telah bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) selama lebih dari satu dekade, melewati berbagai rezim kepemimpinan. Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan hasil Pilkada 2024 telah mengguncang peta politik. Pemungutan Suara Ulang (PSU) menjadi panggung baru bagi kandidat, termasuk salah satu yang berasal dari lingkaran petahana. Namun, alih-alih merapat, banyak ASN seperti Midung justru menjaga jarak.

Ia menghela napas panjang. “Mengapa kita harus terus berada dalam ketidakpastian politik ini?” gumamnya.

Loyalitas birokrasi adalah paradoks. Di satu sisi, ASN diharapkan netral, tetapi di sisi lain, mereka selalu menjadi objek tarik-menarik kepentingan politik. Mereka yang berkuasa ingin mempertahankan kendali, sementara mereka yang menantang kekuasaan ingin mengubah struktur yang ada.

Midung teringat bagaimana di pemerintahan sebelumnya, tekanan demi tekanan datang. Tak jarang, ASN dipaksa menunjukkan kesetiaan dengan berbagai cara, mulai dari menghadiri pertemuan politik terselubung hingga mengikuti skenario kampanye yang samar-samar melanggar aturan netralitas.

Dan kini, ketika lingkaran petahana kembali mencalonkan diri, ada dilema yang lebih besar, apakah mereka akan kembali mengalami tekanan serupa? Atau apakah ini kesempatan untuk menata ulang birokrasi yang lebih sehat?

Luka yang Belum Sembuh

Ruang kerja Midung sepi ketika suara langkah kaki terdengar dari koridor. Rafika, seorang rekan seangkatannya, masuk dengan ekspresi serius.

“Kamu dengar, kan? Beberapa orang mulai dipanggil untuk ‘silaturahmi’ dengan tim sukses kandidat dari keluarga petahana,” ucapnya sambil melipat tangan di dada.

Midung hanya tersenyum kecut. “Silaturahmi atau pemetaan loyalitas?”

Rafika mengangguk. “Seperti biasa. Mereka ingin melihat siapa yang masih ‘bersama’ dan siapa yang mulai menjauh.”

Ada alasan mengapa banyak ASN kini memilih diam. Trauma tekanan politik masa lalu masih terasa. Pergantian jabatan tanpa alasan objektif, penempatan orang-orang yang lebih loyal daripada kompeten, hingga ancaman mutasi bagi mereka yang dianggap tak sejalan.

Bagi ASN, Pilkada bukan hanya sekadar kontestasi politik, tetapi juga ajang menentukan siapa yang akan menjadi atasan mereka untuk lima tahun ke depan dan seberapa besar tekanan yang akan mereka hadapi.

Antara Respek dan Daya Tarik Politik

Tidak semua kandidat dari lingkaran petahana memiliki magnet politik yang kuat. Sebagian hanya mewarisi pengaruh dari jaringan kekuasaan sebelumnya tanpa modal kepemimpinan yang nyata.

Midung dan rekan-rekannya sudah terlalu lama berada di sistem untuk bisa membedakan pemimpin visioner dari sekadar pewaris kekuasaan.

“Apa yang mereka pikirkan?” Rafika menghela napas. “Menganggap bahwa kita akan otomatis mendukung hanya karena mereka dulu berada di lingkaran kekuasaan?”

Midung menggeleng. “Birokrasi itu punya memori. Kita tidak akan lupa bagaimana kita diperlakukan. Jika yang mereka tawarkan hanya kesinambungan, tetapi bukan perbaikan, kenapa kita harus berpihak?”

Di balik layar, banyak ASN yang mulai menyusun strategi bertahan. Mereka tidak ingin mempertaruhkan karier dengan mendukung kandidat yang mungkin kalah atau bahkan membawa pola kepemimpinan yang lebih represif.

Dilema Netralitas dan Politik Aman

Seorang ASN idealnya netral. Tetapi netralitas di dunia nyata adalah konsep yang rumit.

Jika mereka terlalu pasif, mereka bisa dianggap tidak loyal. Jika mereka terlalu aktif, mereka bisa terseret ke dalam pusaran politik praktis.

Maka, banyak ASN memilih sikap aman, menjaga jarak. Tidak menolak secara terang-terangan, tetapi juga tidak menunjukkan dukungan yang jelas.

Midung menutup laptopnya dan menghembuskan napas panjang. PSU sebentar lagi, dan apa pun hasilnya, kehidupan sebagai ASN akan tetap berjalan. Yang berubah hanya siapa yang duduk di atas, dan seberapa besar tekanan yang akan datang.

Karena di dunia politik, tidak ada yang benar-benar netral. Yang ada hanya mereka yang tahu kapan harus melangkah dan kapan harus diam.

Epilog: Politik adalah Perhitungan

Palopo memasuki babak baru. PSU akan menjadi medan pertarungan yang menentukan. Bagi para kandidat, ini adalah perjuangan terakhir untuk merebut kekuasaan.

Bagi para ASN, ini adalah permainan bertahan hidup. Sebuah pilihan untuk merasakan sesuatu yang yang baru.

Karena politik bagi ASN bukan hanya soal loyalitas, tetapi juga soal keinginan untuk bahagia saat berada dalam lingkungan kerja, terbebas dari tekanan yang berlebihan kekuasaan.

Namun, dari sekian banyak faktor yang membuat ASN lebih memilih tidak lagi ikut dalam barisan lingkaran Petahana, bisa jadi disebabkan atas keinginan untuk melepaskan diri dari tekanan yang berlebih dan akhirnya berani bersikap untuk memperjuangkan Palopo baru!

Penulis ; Karasu-

Koni Palopo
Pasangiklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *