MK Tolak Uji Materi Syarat Pendidikan Minimal Bagi Capres Dan Cawapres, Boleh Ikut Meskipun Hanya Tamat SMA dan Sederajat
Jakarta,4Menit.Com — Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak permohonan uji materi yang mengajukan syarat pendidikan minimal sarjana strata satu (S1) bagi calon presiden dan wakil presiden. Putusan yang dibacakan pada Kamis (17/7/2025).
ini secara tegas memastikan bahwa syarat pendidikan paling rendah tetap sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat, sehingga pintu pencalonan presiden terbuka lebar bagi seluruh warga negara tanpa harus memiliki gelar sarjana.
Dikutip dari Suara Jabar, Ketua MK Suhartoyo menegaskan, penolakan ini bukan sekadar mengakhiri wacana mengenai standar pendidikan bagi capres-cawapres, tetapi juga sebagai bentuk penegasan batas kewenangan antara yudikatif dan legislatif. MK menolak menjadi “super-legislator” yang mengatur kualifikasi pemimpin negara yang seharusnya menjadi domain mutlak politisi di parlemen.
Salah satu pertimbangan penting dalam putusan ini adalah bahwa menaikkan standar pendidikan menjadi S1 justru akan menghambat hak konstitusional warga negara untuk ikut serta dalam pemilihan umum sebagai calon pemimpin. Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 169 huruf r Undang-Undang Pemilu yang menetapkan batas paling rendah tamat SMA bersifat inklusif, karena membuka ruang (salah satunya) bagi kandidat yang sudah menempuh pendidikan lebih tinggi. Menambah persyaratan justru mempersempit peluang bagi calon-calon potensial yang tidak memiliki gelar sarjana padahal mereka berprestasi serta berkompeten.
MK juga mengingatkan bahwa kapasitas kepemimpinan dan kemampuan seorang calon lebih tepat diuji melalui pencalonan oleh partai politik dan, yang paling utama, melalui pilihan rakyat di bilik suara. Dengan demikian, persyaratan pendidikan tidak boleh menjadi tolok ukur mutlak dalam menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin negara.
Selain itu, MK dalam amar putusannya menegaskan bahwa persyaratan pendidikan minimal untuk capres dan cawapres saat ini telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa syarat-syarat pencalonan dapat diatur lebih lanjut oleh undang-undang, sehingga kewenangan mengubah atau menetapkan kriteria tersebut berada pada legislatif. MK menyerahkan urusan tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan pembentuk undang-undang terkait.
Putusan MK ini secara tidak langsung memberikan peluang bagi keberagaman calon presiden dan wakil presiden di Indonesia, tanpa mengintervensi pendidikan formal mereka. Selain itu, hal ini juga menjadi langkah penguatan demokrasi yang inklusif dan menjunjung tinggi hak politik seluruh warga negara.
Dengan keputusan ini, wacana “capres wajib S1” pun resmi dimakamkan, dan kini fokus akan bergeser pada kualitas kepemimpinan serta rekam jejak calon yang sebenarnya hadir dari proses politik dan pilihan rakyat.(*)