Pemkot Palopo

Badai Korupsi Dana Hibah Jatim: Hanya 55 Persen Sampai ke Rakyat

JAKARTA, 4Menit.Com – Skandal korupsi dana hibah pokok pikiran (pokir) di Jawa Timur akhirnya terkuak. Di kutip dari kompas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap bahwa dari total anggaran hibah periode 2019–2022, hanya sekitar 55 hingga 70 persen yang benar-benar sampai ke masyarakat. Selebihnya, diduga kuat mengalir ke kantong para aktor politik dan jaringan korlap (koordinator lapangan) yang sudah lama menguasai sistem penyaluran hibah.

Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyebutkan fakta mencengangkan: mantan Ketua DPRD Jawa Timur, Kusnadi, tercatat menguasai alokasi dana pokir hingga Rp398,7 miliar dalam kurun empat tahun. Angka fantastis ini kemudian dipilah-pilah dan dialirkan ke sejumlah korlap yang berperan sebagai perpanjangan tangan di lapangan.

Mereka bukan sekadar pelaksana teknis. Dari hasil penyidikan, korlap inilah yang merancang proposal, menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB), hingga membuat Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) secara mandiri. Artinya, sistem pengawasan hampir nihil sejak awal. Proposal fiktif, pekerjaan yang direkayasa, hingga LPJ palsu menjadi pola yang berulang.

Nama-nama korlap itu kini muncul ke permukaan:

Hasanuddin, anggota DPRD Jatim periode 2024–2029, sebelumnya swasta asal Gresik.

Jodi Pradana Putra, pihak swasta dari Blitar.

Sukar, eks kepala desa dari Tulungagung.

Wawan Kristiawan dan A. Royan, keduanya swasta asal Tulungagung.

Di balik mekanisme yang tampak resmi, KPK menemukan skema pembagian fee. Rinciannya:

Korlap menerima 5–10 persen dari total anggaran.

Pengurus kelompok masyarakat (pokmas) mendapat 2,5 persen.

Admin proposal dan LPJ kebagian 2,5 persen.

Sisanya, diyakini mengalir ke aktor politik utama, termasuk Kusnadi. Fee inilah yang menggerogoti hak masyarakat.

Dari 21 orang yang ditetapkan tersangka, empat telah resmi ditahan KPK untuk 20 hari pertama. Namun, sumber internal menyebut jumlah keterlibatan bisa lebih besar, mengingat jaringan dana hibah ini telah berjalan sistematis selama bertahun-tahun.

Kasus ini sekaligus memperlihatkan bagaimana dana publik yang seharusnya menopang pembangunan daerah berubah menjadi ladang bancakan. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan, hibah yang diklaim atas nama rakyat justru menjadi mesin rente politik.

 

PELANTIKAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *